LihatJuga. FIKIH PEREMPUAN (MUSLIMAH) : Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, sampai Wanita Karier oleh: Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi Terbitan: (2005) ; Fikih Perempuan oleh: Syaikh Mutawali As-Sya'rawi Terbitan: (2009) ; Fikih Perempuan (Muslimah) : Jusul Asli; Fiqh Al Mar'ah Al Muslimah oleh: Syaikh Mutawalli As-Sya'rawi Terbitan: (2009)

PrédicateurMohammad Mutwalli Ash-Sha’raawi en arabe محمد متولي الشعراوي, né le 5 avril 1911 et mort le 17 juin 1998, est un théologien musulman et homme politique égyptien. Il a joui d’une grande popularité en Égypte grâce à ses apparitions télévisuelles régulières dans le cadre d’émissions consacrées à l’islam, et a joué un grand rôle dans la diffusion de l’islam dans son pays et, au-delà dans le monde arabe. Il est l’un des symboles de la culture populaire égyptienne » des années 1970, 80 et 90.

MuhammadMetwalli al-Sha'rawi (Arabic: محمد متولي الشعراوي) (April 15, 1911 - June 17, 1998) was an Islamic scholar, former Egyptian minister of Endowments and Muslim jurist.He has been called one of Egypt's most popular and successful Islamic preachers, and "one of the most-prominent symbols of popular Egyptian culture" in the 1970s, 1980s and 1990s.
The study of the Koran's stories focused on the excavation of its historical aspect. This was done to prove the existence of such narratives in the Koran as historical facts that happened. On the other hand, it is often the precautionary care of the story, even to be neglected. Mutawalli al-Sya'rawi came by offering insight into the story in the Koran, not only by digging out its heart, but also creating a similar story in every place and time. The study USES a descriptive approach. The things accredited by al-Sya'rawi is written in the code that doesn't give the character's real name, and that story will be repeated everywhere and every time. Like pharaoh that zalim, dictator, and raised himself. So did the dzulqarnain, who is good and empowering the weak. The personages of these two characters will continue to exist in life, wherever and wherever. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MAGHZA Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto Edisi Januari-Juni, Vol. 5, No. 2, 2020 DOI 285 Kaidah Memahami Kisah Dalam Al-Quran Perspektif Mutawali al-Sya’rawi Fakhrijal Ali Azhar UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail fakhrijalaliazhar Nafisatun Nuri UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail nafisatun_nuri_1904028020 Ahmad Musyafiq UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail ahmad_musyafiq Abstract The study of the Koran's stories focused on the excavation of its historical aspect. This was done to prove the existence of such narratives in the Koran as historical facts that happened. On the other hand, it is often the precautionary care of the story, even to be neglected. Mutawalli al-Sya'rawi came by offering insight into the story in the Koran, not only by digging out its heart, but also creating a similar story in every place and time. The study USES a descriptive approach. The things accredited by al-Sya'rawi is written in the code that doesn't give the character's real name, and that story will be repeated everywhere and every time. Like pharaoh that zalim, dictator, and raised himself. So did the dzulqarnain, who is good and empowering the weak. The personages of these two characters will continue to exist in life, wherever and wherever. Keywords Mutawalli as-Sya’rawi, The History of the Qur’an, kaidah tafsir. Abstrak Pengkajian terhadap kisah-kisah dalam al-Quran selama ini terfokus pada penggalian aspek bukti kesejarahannya. Hal ini dilakukan untuk membuktikan keberadaan kisah-kisah dalam al-Quran sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Disisi lain, sering kali perhatian terhadap ibrah atau pelajaran yang terkandung dalam kisah justru kurang, bahkan sampai terlalaikan. Mutawalli as-Sya’rawi datang dengan menawarkan pemahaman terhadap kisah dalam al-Quran, tidak hanya dengan menggali ibrahnya saja, melainkan juga menghadirkan kisah serupa pada setiap tempat dan waktu. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Apa yang 286 ditawarka oleh as-Sya’rawi tertuang dalam kaidah bahwa suatu kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokohnya, maka kisah tersebut akan terulang dimanapun dan kapanpun. Seperti firaun yang dzalim, dikdator, dan menuhankan dirinya. Begitu pula Dzul Qarnain, yang baik dan memberdayakan orang lemah. Sosok-sosok seperti dua tokoh ini akan terus ada di dalam kehidupan, dimanapun dan kapanpun. Kata kunci Mutawalli as-Sya’rawi; The History of the Qur’an, kaidah tafsir. A. PENDAHULUAN l-Quran merupakan kitab petunjuk dan sekaligus sebagai rahmat bagi manusia. Didalamnya mencakup banyak hal, mulai dari ibadah, akhlak, muamalah, hari akhir, ilmu pengetahuan, sejarah, kisah-kisah umat terdahulu dan lain sebagainya. Adanya konten sejarah dan juga kisah-kisah di dalam al-Quran tidak lantas ia disebut sebagai kitab sejarah atau kitab kisah, namun ia masih tetap sebagai asalnya yaitu kitab petunjuk. Kisah hanyalah salah satu dari metode al-Quran untuk menyajikan petunjuknya, yaitu dengan sajian pelajaran-pelajaran bagi para pembacanya. Puncaknya bahwa al-Quran menuntun manusia untuk mengenal tuhannya, juga agar manusia mampu memikul tugas sebagai khalifah di muka bumi. Kata kisah sendiri secara bahasa berasal dari akar Qashsha صق, bisa diartikan sebagai menelusuri jejak. Adapun secara epistimologi berarti menelusuri dari sebuah peristiwa atau kejadian denga cara menyampaikan atau menceritakannya tahap demi tahap sesuai kronologi kejadiannya. Shihab, 2013 Sedangkan kisah dalam konteks al-Quran, diartikan oleh Manna’ al-Qaththan sebagai cerita yang diinformasikan oleh al-Quran mengenai umat-umat zaman dahulu, peristiwa nabi-nabi serta peristiwa lain yang terjadi masa terdalalu. Al-Qathhthan, 2000 Sikap para ulama terhadap berbagai kisah yang disampaikan dalam al-Quran berbeda-beda. Secara garis besar sikap mereka dibagi menjadi 2 sikap, pertama; sementara ulama memahami seluruh peristiwa atau kisah-kisah al-Quran sebagai bentuk peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di dalam dunia ini. Maka sebagian ulama dengan pemahaman seperti ini meneliti segala fakta sejarah yang dapat mendukung peristiwa pada kisah-kisah tertentu. Kedua; sebagian ulama lain memahami bahwa sebagian peristiwa dalam kisah al-Quran adalah simbolik. Sorotan utama dari kisah yang simbolik adalah kandungannya. Seperti contoh kisah Isa menghidupkan orang mati, kisah ini tidak dipahami sebagai menghidupkan orang mati secara jasad, akan tetapi menghidupkan orang yang telah mati hatinya.Shihab, 2013 Selama ini pengkajian terhadap kisah-kisah dalam al-Quran terfokus pada penggalian aspek bukti kesejarahannya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kemukjizatan al-Quran dengan meligitimasi keberadaan kisah dalam al-Quran sebagai fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi. Disisi lain, sering kali perhatian terhadap ibrah atau pelajaran yang terkandung dalam kisah justru kurang, bahkan sampai 287 terlalaikan.Shihab, 2013, p. 14 Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali ulama yang mengkaji ini. yaitu Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi, salah satu ulama yang sangat memperhatikan unsur pelajaran yang terkandung dalam kisah. Syeikh Mutawalli memandang bahwa kisah dalam al-Quran bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan bisa terjadi di setiap masa dan di setiap tempat. Pandangan beliau ini dituangkan dalam satu kaidah, yaitu apabila al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh pada konteks kisahnya, maka peristiwa yang serupa dapat terulang’. Pandangan ini terbilang cukup baru karena Muatwalli as-Sya’rwai sendiri hidup di tahun 1911 sampai 1998. Hal ini menunjukkan bahwa kaidah tafsir tidak bisa dianggap final setelah dikarangnya beberapa kitab kaidah tafsir oleh para ulama klasik, namun bisa saja ditemukan suatu kaidah-kaidah baru yang dianggap layak untuk memahami al-Quran.Shihab, 2013, p. 14 Dalam artikel ini akan disajikan bagaimana pandangan dan tawaran akademik oleh Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi menyangkut kisah dalam al-Quran B. RIWAYAT HIDUP SINGKAT ASY-SYA’ROWI Nama lengkap asy-Sya’rowi adalah Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi, beliau lahir pada tanggal 17 Rabi’uts Tsani 1329 H, yang bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, kecamatan Mait Ghamir, provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Saat itu Mesir masih berada di bawah penjajahan Inggris. Beliau merupakan seorang tokoh kenamaan yang lahir di tanah Mesir yang menjadi daerah tempat tinggalnya para ulama pembaharu Islam mujaddid. Al-Sya`rawi telah berhasil mengahsilkan karya tafsir dan belau dikenal sebagai seorang ahli tafsir kontemporer.Jazar, 1409 Kitabnya berjudul Ana Min Sulalat Ahli Al-Bait, disana ia menyebutkan perihal nasabnya bahwa dirinya merupakan keturunan dari cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hasan dan Husein mengenai Latar belakang keluarga as-Sya’rowi termasuk keluarga terhormat, ayah beliau seorang petani yang penuh dengan kesederhanaan, mengolah tanah milik orang lain. Meskipun begitu ayahnya gemar dan cinta akan ilmu dan sering kali menghadiri majlis untuk mendengarkan tausiyah para ulama’.Sa`îd Abû al-`Ainain, 1995, p. 6 Harapannya kelak agar Sya’rowi menjadi menjadi seorang ilmuwan, dan bisa belajar di Universitas al-Azhar. Sebagai anak, asy-Asya’rowi mengakui besarnya peranan ayahnya. Dalam bidang pendidikan asy-sya’rawi mulai menghafal al-Qur’an kepada Syekh Abd al-Mjid Pasha, dan doselesaikannya pada usia 11 tahun. Pendidikan formalnya, pada tahun 1926 M, belajar di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq. Sejak beliau kecil, sudah tampak kecerdasannya dalam menghafal syair puisi dan pepatah arab dari sebuah 288 perkataan dan hikmah, kemudian mendapatkan ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1932 M`. Pada waktu duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah lembaga pendidikan menengah, bakat dalam syair dan sastra terus dikembangkan, beliau mendapatkan tempat khusus di antara teman-temannya. Beliau juga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa serta ketua perkumpulan sastrawan yang berada di Zaqaziq. Beliau bersama rekan-rekannya seperti Prof. Khalid Muhammad Khalid, Dr. Ahmad Haikal, Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji, Dr. Hassan Gad dan penyair Thahir Abu Fasya. Mereka menunjukkan tulisan kepadanya. Setelah lulus dari sekolah menengah, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar pada fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M. Sa`îd Abû al-`Ainain, 1995, p. 29, tahun 1941 dia lulus S1. Setelah meraih gelar strata satunya kemudian diizinkan mengajar pada tahun 1943M di sekolah agama di bawah naungan al Azhar. Asy-Sya‟râwi kemudian ditugaskan ke Institut Agama yang berada di Thanta. Kemudian dia dipindahkan ke Institut Agama di Zaqaziq, dan setelah itu di Institut Agama di Iskandaria. Pada tahun 1950 M, asy-Sya‟râwi pindah kerja ke Saudi Arabia sebagai dosen Syari'ah pada Universitas Ummu al-Qurro, Mekkah al-Mukarramah. Tahun 1960M, dia serta pengajar dari al-Azhar yang berada di Saudi di tarik kembali ke Mesir, karena saat itu terjadi perselisihan antara Presiden Mesir, Jamal Abd an-Naser, dengn Raja Su’ud. Karir asy-Sya‟râwi mulai meningkat ketika menjadi dosen sembilan tahun pada jurusan Tafsir-Hadis di Fakultas Syari‟ah Universitas al-Malik ,Abd al-„Aziz di Mekkah tahun 1951M. Selanjutnya, tahun 1960 M dia dipilih sebagai wakil kepala sekolah di al-Azhar di Tantha. Dia menduduki jabatan direktur pada pengembangan dakwah Islam di Departemen Agama tahun 1961 M. Tahun 1962 M dia diberi amanah menjadi pengawas pengembangan bahasa Arab di al-Azhar. Kemudian, tahun 1964 M, asy-Sya‟râwi mendapatkan penghargaan serta ditugaskan di Kairo sebagai Direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein Ma'mun. Rabu 17 Juni 1998M, Syaikh asy-Sya‟rawi kembali ke haribaan Ilahi, tepat di usia 87 tahun. waktu pemakamannya, berjumlah ratusan ribu orang dating dan memenuhi kuburnya di Kampung Daqadus, wujud penghormatan terakhir bagi „allama. Herry Muhammad, 2006, p. 277 Dalam perjalanan hidupnuya, tida banyak karya yang beliau tulis dikarenakan kesibukannya dalam berdakwah secara langsung lisan di tengah-tengah masyarakat Islam. Akan tetapi ceramah-ceramahnya yang kemudian dicetak dalam bentuk buku mendapatkan sambutan positif di kalangan Muslim. Karya beliau yang terkenal diantaranya yaaitu Tafsir Asy-Sya’rowi. Karya ini mengacu pada nama penulisnya yaaitu Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟rawi. Awalnya, 289 karya tafsir ini tidak dibukukan sebagai kitab tafsir. Saat itu merupakan hasil dokumetasi yang ditulis dari ceramah yang telah disampaikan asy-Sya‟rawi. Hasil rekapan ceramah tersebut terlebih dahulu terbit pada majalah al-Liwa‟ al-Islamy No. 251-332, selanjutnya dijadikan buku seri berjudul khawatiri hawl al-Qur‟an al-Karim terbitan dar Mayu al-Wathaniyyah tahun 1982. Tahun 1991 M, tafsir ini terbit pada penerbit Akhbar al-Youm. Tafsir Asy-Sya‟rawi itu sendiri ditulis oleh Lajnah perkumpulan dimana diantara anggotanya adalah „Abdul Waris ad-Dasuqi dan Muhammad as-Sinrawi. Beliau menguraikan dalam muqaddimah tafsirnya “Hasil renungan saya pada al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur‟an, melainkan hanya percikan pemikiran yang tertulis dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur‟an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebanarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah saw, karena kepada beliaulah al-Qur‟an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur‟an dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur‟an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah swt.”Asy-Sya’rowi, 1999 C. HAKIKAT KISAH DALAM AL-QUR’AN 1. Maksud dan Tujuan Kisah dalam al-Qur’an Kisah secara bahasa, berasal dari bahasa arab yaitu al-Qishah, kata itu serupa dengan Qashsha yang berarti menelusuri jejak.Shihab, 2013 Sementara kata Qashash merupakan bentuk mashdar yang berarti mengikuti jejak atau mencari jejak. Didefinisikan oleh ulama’ kata “kisah” berarti menelusuri peristiwa/kejadian dengan jalan menyampaikan/menyeritakannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologi kejadiannya.Shihab, 2013, p. 319 Manna’ Khalil al-qattan mendefinisikan istlah Qashahs dengan berita yang berurutan, sedangkan pada kata qishah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.Al-Qathhthan, 2000 Sedangkan qashah al-qur’an menurutnya adalah pemberitaan qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Menurutnya juga dalam kandungan al-Qur’an banyak yang memuat beberapa peristiwa , sejarah umat pada masa lalu, serta keadaan negara dan daerah perkampungan mereka yang semua diceritakan dalam al-Qur’an dengan kemasan yang menarik dan pembacanya seakan-akan berada pada kondisi yang diceritakan.Al-Qathhthan, 2000, p. 306 Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk mempunyai beberapa metode untuk menyampaikan pesan dalam al-Qur’an, salah satu diantaranya yakni al-Qur’an berkisah. 290 Bentuk-bentuk kisah yang tersaji dalam al-Qur’an mempunyai beberapa bentuk, pertama, adanya kisah yang yang fokus pada pelaku sebagai objek cerita. Bentuk pertama ini dapat ditemui dalm kisah mengenai tokoh, baik mereka termasuk nabi ataupu bukan. Kedua, kisah seputar kaum terdahulu. Apa yang dialami oleh berbagai komunitas dalam sejarah peradaban dunia, baik jejak peninggalannya masih bisa ditemui maupun yang sudah tak terlacak. Ketiga, al-qur’an terkadang bercerita tentang peristiwa yang pelakunya diceritakan secara samar karena fokus padaperistiwa atau objek cerita. Hosen, 2020, p. 289 Sedangkan pemaparan kisah-kisah dalam al-Qur’an menurut syekh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, menjadi metode pengajaran yang ada dalam al-Qur’an. Dan mempunyai cara dalam memaparkannya, bahwa kisah yang panjang dirangkum dalam beberapa kalimat sederhana lalu dirinci sesuai alurnya. Dan sesuatu yang penting diungkapkan mulai dari tingkatnya yang rendah ke yang lebih tinggi, atau sebaliknya.As-Sa’di, 1997, p. 179 Seperti pada kisah nabi Yusuf, Allah Berfirman “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik”. QS. Yusuf [12] 3 Kemudian baru menceritakan kisah secara terinci dengan diali kalimat “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf Dn saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya. QS. Yusuf[12] 7 Dan setelah itu baru kisahnya dipaparkan dsecara terinci. Sayyid Quthub menguraikan tentang makna atau tujuan dari kisah al-Qur’an Quthub, Pertama, penegasan bahwa Qur‟an adalah wahyu Allah SWT serta Muhammad SAW adalah utusan-Nya dalam keadaan tidak memahami baca maupun tulis, akan tetapi dia bisa mengetahui juga menyampaikan kisah-kisah masa sebelumnya. Kedua, menerangkan jika semua agama yang dibawa oleh rasul-rasul serta nabi mulai dari Nabi Nuh as sampai dengan Nabi Muhammad SAW bersumber dari Allah SWT dan semua mukmin merupakan umat yang satu, Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat Qs. al-Anbiya’ [21]48 dan 92. Dasar agama bersumber dari Allah, memiliki prinsip sama. Maka dari itu, dasar-dasar keyakinan selalu diulang-ulang, bahwa dia mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa Qs. al-a’râf [7]59, 65, dan 73. Ini menunjukkan misi dari para nabi dalam berdakwah sama serta sambutan oleh kaumnya juga hampir sama, agama yang dibawa pun dari sumber sama, yaitu Allah Qs. Hûd [11]25, 50, 60, dan 62. Antara agama Nabi Muhammad SAW serta Nabi Ibrahim as khususnya dengan agama Bani Israil pada umumnya ada kesamaan dasar yang memiliki kaitan kuat. Ketiga, memaparkan bahwa Allah SWT selalu bersama nabi-Nya, memberikan hukuman pada orang-orang yang mendustakan kerasulannya. Selain itu, untuk menguraikan nikmat Allah SWT pada nabi-nabi serta pilihannya. Contohnya, Nabi Daud dan Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi 291 Zakariya, Maryam dan Nabi Isa. Keempat, peringatan terhadap manusia untuk selalu waspada dari godaan-godaan setan semenjak Nabi Adam. Selain itu, untuk menjelaskan atas kekuasaan Allah terhadap peristiwa-peristiwa luar biasa, yang tidak dapat dijangkau akal pikiran umat manusia. 2. Unsur dan Macam-Macam Kisah Kisah di dalam al-Qur’an mempunyai unsur yang umumnya meliputi hal-hal pertama, al-ahdâts peristiwa. Peristiwa tersebut tidak selalu diceritakan sekaligus, akan tetapi bertahap atau pun berulang sesuai kronologis kejadian serta sesuai titik tekan dari tujuan kisah. Kisah al-Qur‟an sebagai gambaran realitas serta logis dan bukan kisah rekayasa. Namun, kisah al-Qur‟an juga dapat menjadi makna imajinatif, kehalusan budi, kesejukan, kesadaran, renungan, kesadaran serta pengajaran. Kesadaran dan pengajaran ibrah sebagai wujud dari derajat takwa martabat paling mulia dari amal ibadah. Kedua, al-asykhâsy tokoh-tokoh. Tokoh serta aktor tersebut dapat berupa nabi-nabi juga rasul, orang-orang saleh, jin, maupun hewan. Aktor terkadang tidak dimaksudkan dalam titik sentral serta bukan pula sebagai tujuan kisah. Itulah sebabnya sang tokoh terkadang tidak disebutkan. Ketiga, al-hiwâr dialog. Dialog yang berlangsung dengan dalam kalimat langsung menjadikan seolah-olah yang membaca kisah itu menyaksikan secara langsung jalannya kisah. Ketiga unsur di atas bisa dikatakan selalu ada pada kisah-kisah al-Qur’an. Akan tetapi, peranan dari ketiga unsur tersebut tidak berarti sama sehingga terkadang salah satu diantara saja yang ditekankan, sementara lainnya menjadi tidak tampak. Jika kisah yang dimaksudkan sebagai peringatan menakut-nakuti, maka yang lebid ditampilkan pada peristiwanya, misal pada kisah kaum Tsamûd dengan Nabi Saleh di QS. Al Syams dan al-Qamar. Kemudian untuk kisah yang dimaksudkan memberi keteladanan moral dan keteguhan hati Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya, maka lebih ditampilkan pada pelakunya. Kemudian, jika yang ditekankan pada hal berkaitan mempertahankan dakwah serta untuk membantah penentangnya, maka yang lebih ditekankan pada unsur dialognya. Naqrah, Sementara itu, untuk macam-macam dari kisah al-Qur’an didasarkan pada tokohnya dapat dikategorikan sebagai berikut pertama, kisah dari rasul-rasul serta nabi yang menyangkut dakwah pada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang pernah terjadi serta perilaku atau respon dari para penentang, juga akibat-akibat yang dirasakan para penentangnya. Kedua, kisah-kisah berkaitan dengan umat-umat zaman dahulu yang tidak dapat dipastikan masa kenabiannya, seperti kisah Thâlut, Jâlût, dua putra Adam, Ashâb al-Kahfi, Zulqarnain, Luqmân al-Hakim, dan seterusnya. Ketiga, kisah berkaitan dengan peristiwa terjadi di zaman Nabi SAW seperti perang Badar, Uhud dan Hunain dan sebagainya. 292 3. Hakikat Kisah-Kisah al-Qur’an historis atau Imaginer Seorang sastrawan yakni Khalafullah berpendapat mengenai kisah, menurutnya suatu kisah termasuk juga kisah yang ada di al-qur’an itu bisa benar terjadi atau bisa jadi tidak terjadi. Namun, mayoritas ulama’ tidak sepakat dengan argumen Khalafullah tersebut. Menurut mereka, jika definisi kisah seperti itu maka akan menimbulkan implikasi buruk pada al-Qur’an, yakni adanya sangkaan jika kisah-kisah yang ada di al-Qur’an terdapat khayali kisah yang tidak nyata terjadi, dapat disimpulkan karena kisah itu tidak benar terjadi, maka al-qur’an itu bohong. Padahal al-Qur’an sendiri mengatakan “Kami menceritakan kisah kepadamu Muhammad dengan sebenarnya”. QS. Al-Kahfi [18] 13 Setelah memahami uraian definisi tentang kisah-kisah dalam al-quran, mengutip dari pendapat Abdul Mustaqim, kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak ada kisah fiktif jika dilihat secara normatif-teologis.Mustaqim, 2011, p. 269 Al-Qur’an dalam menyebut kisahkisahkan dapat dikasifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu Pertama, cerita yang benar-benar terjadi, bukan fiktif atau disebut juga dengan haqiqi waqi’i. Kedua, pengulangan kisah namun menggunakan bentuk penyebutan yang berbeda, yakni dengan penuturan yang indah dan mengesankan. Pengulangan cerita tidak terasa monoton ketika membacanya, sebab penggunaan pola yang beragam di dalam alquran serta mengungkapkan sisi balaghah Qur’an. Dalam aspek kedua ini disebut juga dengan al-fanni al-balaghi. Ketiga, kisah-kisah tersebut mengandung pesan-pesan moral untuk ajaran dan tuntunan umat manusia atau dinamakan juga ta’limi wa al-tarbawi. Ada ulama’ yang meragukan dari kenyataan kisah, seperti pada kisahnyanya nabi Nuh, apakah memang benar terjadi banjir Nuh sangat dahsyat?, apa benar ada tokoh yang namanya ratu Balqis?. Perlu ditekankan kembali bahwa al-Qur’an bukan kitab sejarah, namun merupakan kitab petunjuk. Kalau al-Qur’an mengkisahkan peristiwa terdahulu tentu titik penekanannya ada di pesan moralnya.Hosen, 2020, p. 290 Lagi pula tuduhan al-Qur’an hanya sebagai sebuah dongeng sudah diutarakan sejak dulu. Sebagaimana surat al-Anfal [8] ayat 31   Artinya “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata "Sesungguhnya kami telah mendengar ayat-ayat yang seperti ini, kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, Al Quran ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala".” QS. Al-Anfal [8] 31 Hal ini dibantah dengan jeas oleh Allah dengan firman-Nya, 293     Artinya “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” QS. Yusuf [12] 111 Alasan al-Qur’an menggunaan kisah, juga keberadaan ayat kisah lebih banyak daripada ayat berkaitan dengan hukum` itu sebabnya pada pada dasarmya manusia senang dengan mendengar, membaca, juga menyaksikan kisah. Kisah terdapat dalam al-Qur’an cukup ringkas dengan demikian tidak menyita waktu meresapinya. Disamping itu, cerita yang dahsyat itu adalah yang mampu menyerap emosi pendengar seolah-olah kisah itu nyata dan tampak dihadapan mereka padahal kita tidak berada disana. Inilahcara berkisah yang dlakukan al-qur’an secara piawai dan menawan hati.Hosen, 2020 Misalnya dalam QS. Ali Imron ayat 44, “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu ya Muhammad; padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa” QS. Ali Imron [3] 44 Menyangkut masalah kisah-kisah sebagaimana di al-Qur’an. Apakah cerita yang diungkapkan di al-Qur’an itu sebuah historis? Ataukah cerita itu merupakan imajinasi?, untuk menjawab persoalan itu, diketahui bahwa para ulama/cendekiawan berpendapat kisah al-Qur’an itu benar-benar terjadi secara nyata historis dan kemudian sebagian kisah-kisahnya itu merupakan simbolik. Untuk kisah-kisah yang menurutnya simbolik adalah memiliki kebenaran secara material, akan tetapi kebenaran faktual kisahnya tidak dipaksakan untuk benar-benar faktual, karena kisah yang masuk pada kriteria ini hanya sebagai simbol untuk keperluan memberi contoh. Untuk kriteria kisah pada pendapat ini memindahkan dari makna hakiki lafadz ke majazi.Hosen, 2020 Sebagimana kisah nabi Isa menghidupkan yang mati, mereka tidak memahami menghidupkan seseorang yang denyut jantungnya telah berhenti atau otaknya sudah tidak berfungsi lagi, namun memahaminya sebagai menghidupkan orang yang mati hatinya. Berangkat dari adanya kisah dalam al-quran yang mengandung makna simbolik dan kebenaran historisnya belum bisa di anggap kisah fikfif atau benar terjadi, meskipun di ramu dengan penyampaian narasi yang indah, sebenarnya hal ini tidak bermaksud kisah yang indah harus merekayasa sebuah peristiwa, dan tidak berarti juga Tuhan tidak bisa membuat cerita yang empiris dengan ungkapan yang indah. Sejalan dari asumsi ini pada konteks kisah al-Qur’an pada dasarnya menekanan kebenaran serta keindahan, mengacu kepada al-Qur’an sebagai kitab suci hidayah yang merupakan 294 pedoman hidup umat manusia. Az-Zarqoni menegaskan bahwa “al-Qur’an mengungkapkan cerita-cerita masa lalu yang masih ghoib, niscaya akan dibuktikan oleh sejarah”.Al-Zarqani, Seperti contoh, yang dikisahkan dalam al-Qur’an tentang kaum Saba’ yang bendungannya runtuh menyebabkan berpencar terkoyak-koyak, dalam QS. Saba’[34] ayat 15. Dalam kisah tersebut kemudian terbukti fakta sebab bendungan Sad Ma’rib ditemukan sisa-sisa reruntuhannya di wilayah Yaman Selatan, di dikenal dengan nama Ma’rib. Bendungan yang di bangun abad ke-8 SM serta beberapa kali diperbaiki. Terkahir kehancurannya pada tahun 575 M, lalu ia dibangun lagi atas biaya Uni Emirat Arab pada tahun 1986 M.Shihab, 2013, p. 329 D. KAIDAH MEMAHAMI KISAH DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF ASY-SYA’RAWI Pada kisah-kisah tersaji di dalam al-Quran, sering kali nama-nama asli tokohnya disamarkan dengan hanya menyebutkan gelarnya, seperti Dzulqarnain, Firaun,dan lain sebagainya. Selain nama tokohnya, latar waktu dan tempat kisah-pun tidak disebutkan. Hal ini karena maksud sesungguhnya pada kisah-kisah yang ada di al-Quran adalah untuk menyajikan pelajaran dan hikmah, bukan untuk menyajikan fakta sejarah secara utuh dari kisah yang bersangkutan.As-Sya’rawi, Bahkan menurut Mutawalli as-Sya’rawi, seorang yang mengkaji fakta sejarah terhadap kisah-kisah yang ada di al-Qur’an hanya akan membuang waktu dan tenaga saja. Hal ini karena sebagian besar dari kisah dalam al-Quran adalah perumpamaan yang dapat mengejawantah pada setiap manusia. Dengan kata lain bahwa kejadian dari kisah dalam al-Quran bukan terbatas pada individu tokohnya saja, melainkan dapat berlaku pada setiap orang, di waktu dan tempat manapun. Pandangan ini setidaknya dapat menjadi jalan kontekstualisasi dan juga anti-tesis terhadap sebagian orang yang berpendapat bahwa kisah dalam al-Quran adalah peristiwa sejarah, tidak terjadi dimasa sekarang dan tidak akan terulang.Asy-Sya’rowi, 1999 Pandangan Mutawalli as-Sya’rawi diatas, kemudian diformulasikan menjadi kaidah penafsiran al-Quran, yang berbunyi “apabila al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka peristiwa serupa dapat terulang”. Sebaliknya “apabila al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang”.Shihab, 2013, p. 14 Kisah yang bisa terulang seperti apa yang disebut dalam kaidah pertama adalah seperti kisah Firaun. Dalam kisah ini, Allah tidak menyebutkan siapa diri Firaun yang sezaman dengan Nabi Musa tersebut, pada tahun berapa dan dimana latar tempat kisah tersebut. Demikian ini karena tujuan dari kisah itu bukan untuk mengetahui siapa sebenarnya Firaun, dimana dan kapan ia hidup. Sehingga pengkajian kisah Firaun degan mencari data sejarah sosok Firaun dalam al-Quran 295 tidaklah penting menurut as-Sya' berkata Apakah Firaun yang semasa dengan Nabi Musa adalah Ramses kedua atau Ramses keberapa, penelitian semacam ini hanya membuang waktu. Karena yang menjadi tujuan dari kisah dalam al-Quran adalah pelajaran dari kisah tersebut. Sosok Firaun oleh as-Sya’rawi digambarkan sebagai orang yang dzalim dan menuhankan dirinya, ia berkata “akulah Tuhanmu yang tertinggi” an-Naziat24. Kedzalimannya terhadap bani Israil berupa penindasan yang sangat kejam dan membunuh anak laki-laki yang terlahir dari bani Israil seperti tergambar dalam surat al-Baqarah 49, surat al-A’raf 141, dan surat Ibrahim6, karena ia takut kehilangan kekuasaannya setelah bermimpi akan datang seorang anak dari kalangan bani Israil yang akan menggulingkan kekuasaannya.Asy-Sya’rowi, 1999, p. 327 Namun akhirnya Firaun dengan para pengikutnya musnah ditenggelamkan oleh Allah dengan mendapat balasan siksa, “Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia” an-Naziat25. Kisah Fir’aun tersebut memberi pelajaran bahwa terdapat orang-orang dimana mereka menuhankan dirinya, orang-orang dikdaktor yang berlaku dzalim sebagimana dilakukan oleh Firaun. Orang yang dzalim seperti itu akan berakhir dengan tragis, dan akan mendapat siksa di akhirat kelak. Orang seperti ini bukan hanya Firaun, tapi bisa ditemui pada sosok-sosok lain, siapapun itu, kapan dan dimanapun itu. Mengutip dari Buya Hamka, bahwa ada beberapa pemimpin dikdator yang selalu menganggap dirinya benar, tidak mau salah dan disalahkan. Para pengikutnya setia memuja hingga menempati pemujaan terhadap Tuhan. Pemimpin-pemimpin tersebut seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Stalin di Uni Soviet dan lain-lain.Amrullah, 1982, p. 630 Dengan menyamakan sifat dan perilakunya, orang-orang semacam itu bisa dikatakan sebagai Fir’aun, Fir’aun sosok baru, bukan raja Mesir yang hidup pada masa Nabi Musa. Contoh lain adalah kisah Dzul Qarnain, kisah ini diabadikan dalam al-Qur’an, mulai dari ayat 83 surat al-Kahfi. Disana tidak dibicarakan siapa sesungguhnya Dzul Qarnain, siapakah orang-orang yang didapatinya, dan dimana tempat terbit dan terbenamnya matahari “Hingga apabila dia telah sampai pada tempat terbenamnya matahari, dia pun melihat matahari terbenam kedalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati disitu di laut itu segolongan umat….” al-Kahfi 86. Karena bagi as-Sya’rawi, tidak penting membahas siapa sesungguhnya Dzul Qarnain, dimana latar tempat kisah beliau, apakah itu di Habasyah ataupun di Yaman. Melainkan tujuan utama kisah tersebut adalah memberi kita pelajaran bahwa ketika kepemimpinan dikuasai oleh orang baik maka akan terwujud kebaikan, begitu sebaliknya akan binasa kedzaliman, dan orang-orang lemah akan terberdayakan.As-Sya’rawi, Sehingga sosok Dzul 296 Qarnain akan mengejawantah di setiap tempat dan waktu, yaitu berupa orang-orang baik yang memberdayakan sesamanya, bahkan sosok tersebut berada disekitar kita sekarang. Namun perlu diperhatikan bahwa ketidak-pentingan mengungkap jati diri Dzul Qarnain, dimana latar tempat kisahnya, dan lain-lain menurut as-Sya’rawi, bukan berarti tidak penting sama sekali untuk dibahas. Karena dalam tafsirnya, as-Sya’rawi pun mencoba membahas siapa Dzul Qarnain pada surat al-Kahfi ayat 83 “Dan mereka bertanya tentang Dzul Qarnain”. Dzul Qarnain bukanlah nama asli, melainkan gelar. Oleh sebagian Ilmuwan Dzul Qarnain adalah Alexander Agung, namun hal ini dibantah oleh Abu al-Kalam Azad, karena Alexander Agung berada di barat, sedangkan Dzul Qarnain dalah pengembara bagian Timur dan Barat. Menurut Azad, gelar Dzul Qarnain dalam al-Qur’an tersebut ditujukan untuk Cyrus yang saleh, bukan Alexander Agung yang kafir dam merupakan murid dari Aristoteles.Asy-Sya’rowi, 1999, p. 8975 Kaidah diatas berlaku untuk kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokoh seperti Firaun, Dzul Qarnain, dan lain-lain. Sehingga ada nama asli tokoh yang disebutkan secara lengkap menyebutkan nama depan dan belakang dalam al-Quran termasuk kisah yang tidak akan terulang lagi, seperti isi kaidah kedua yang berbunyi “apabila al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang”. Penyebutan nama yang seperti ini, hanya terdapat pada dua tokoh yaitu Isa bin Maryam dan kisah Maryam binti Imran. Pengecualian ini dikarenakan penyebutan nama kedua tokoh tersebut secara lengkap, yaitu disebutkan nama depan dan nama belakang. Berbeda dengan penyebutan nama-nama Nabi lain yang hanya menyebut nama depannya saja, seperti Yusuf, Sholih, Yunus, dan lain sebagainya. Allah berfirman “Dan ingatlah Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari tuh ciptaan kami…” At-Tahrim 12 “Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya” Maryam 34 Penyebutan nama tersebut karena Isa dan Maryam dibedakan dengan seluruh makhluk lainnya, bahwa tidak akan ada wanita yang dapat mengandung anak tanpa laki-laki kecuali Maryam binti Imran. Selain itu tidak ada anak yang lahir tanpa ayah serta ibu kecuali Isa bin Maryam.Asy-Sya’rowi, 1999 Maka kisah ini tidak akan terulang pada masa kapanpun dan ditempat manapun. Apabila ada perempuan mengaku mengandung anak tanpa bantuan seorang laki-laki, atau seorang anak mengaku lahir tanpa ayah yang menggauli ibunya, maka pengakuan seperti ini adalah hoax belaka. Apa yang menjadi keterangan dalam kaidah kedua tersebut masih meninggalkan pertanyaan yang perlu dijawab. Oleh as-Sya’rawi, kisah yang relevan dengan kaidah kedua sekaligus menjadi pengecualian kaidah pertama hanya kisah Maryam binti Imran 297 dan Isa bin Maryam, karena kedua nama tersebut disebut secara lengkap nama depan dan belakang. Namun bagaimana dengan kisah-kisah lain seperti Ibrahim yang ketika dibakar oleh kaum raja Namrud “Mereka berkata, Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat” al-Anbiya 68, namun dengan pertolongan Allah, Ibrahim tidak hangus saat dibakar “Kami Allah berfirman, Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim” al-Anbiya 69. Dan juga bagaimana dengan kisah Musa membelah lautan ketika dikejar oleh bala tentara Firaun “…, Dan pukul lah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, engkau tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir akan tenggelam” Taha 77, dan mengubah tongkat menjadi ular “Lalu Musa melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya” al-A’raf 107. Apakah kisah-kisah ini dapat terulang?. Hemat kami, bahwa peristiwa dalam kisah diatas tidak terulang lagi karena itu merupakan mukjizat yang ditujukan hanya pada para rasul dan nabi. Itu adalah keistimewaan khusus yang tidak dapat dimiliki oleh semua manusia. Maka pengecualian peristiwa dalam kisah yang dapat terulang tidak hanya dalam kisah Maryam dan Isa melainkan semua peristiwa yang berupa mukjizat para nabi dan rasul. Sehingga yang perlu diperhatikan dalam kisah semacam ini adalah teladan luhur yang terkandung di dalamnya. Tawaran kaidah oleh as-Sya’rawi tersebut, nampaknya ingin mangajak para pembaca, pengkaji, dan seluruh orang Islam secara umum untuk memposisikan suatu kisah dalam al-Quran menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka, karena kisah tersebut bukanlah dongeng atau peristiwa yang berlalu saja, melainkan ia tetap hidup dan nyata disetiap generasi. Pelajaran didalamnya nyata dalam kehidupan, bagaimana seorang yang dikaruniai kekuatan dan kekuasaan seharusnya menjadi seperti Dzul Qarnain sehingga dia bisa selamat dan memberi kemanfaatan bagi lainnya. Dan seharusnya tidak menjadi Firaun yang dzalim dan penuh kesombongan sehingga dia akan celaka dunia dan akhirat. Pelajaran yang diambil tidak hanya dari kedua kisah tersebut, namun dari semua kisah-kisah dalam al-Quran dengan pegecualian yang telah disebutkan pula. E. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam memahami kisah dalam al-Quran, Mutawalli as-Sya’rawi lebih menekankan pada aspek pelajaran yang terkandung di dalamnya, juga mengkontekstualisasikannya pada kehidupan nyata, sehingga kurang mementingkan kajian sejarahnya. Penekanannya tersebut tertuang dalam kaidah bahwa suatu kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokohnya, maka kisah tersebut akan terulang dimanapun dan kapanpun. Seperti firaun yang dzalim, dikdator, dan menuhankan 298 dirinya. Begitu pula Dzul Qarnain, yang baik dan memberdayakan orang lemah. Sosok-sosok seperti dua tokoh ini akan terus ada di dalam kehidupan, dimanapun dan kapanpun. Berbeda lagi dengan nama yang disebutkan secara lengkap seperti Maryam binti Imran dan Isa bin Maryam, kisah keduannya tidak akan terulang. Maka tidak akan ada perempuan yang mengandung tanpa laki-laki, dan tidak akan ada anak yang lahir tanpa laki-laki yang menggauli ibunya. Tidak hanya kisah Isa dan Maryam saja yang tidak dapat terulang lagi, melainkan peristiwa yang berupa mukjizat para nabi dan rasul pun tidak dapat terulang kembali. Dengan kaidah ini suatu kisah dalam al-Quran diposisikan menjadi sangat penting dalam kehidupan para pembacanya, karena kisah tersebut bukanlah dongeng atau peristiwa yang berlalu saja, melainkan ia tetap hidup dan nyata disetiap generasi. Pelajaran didalamnya nyata dalam kehidupan. Saran artikel ini masih jauh dari kata sempurna untuk mengulas pemikiran as-Sya’rawi dalam ranah kisah dalam al-Quran. Maka penulis menyarankan beberapa aspek yang bisa dikaji untuk penelitian berikutnya, yaitu pertama, genealogi pemikiran as-Sya’rawi, dengan mengkorelasikan latar belakang kehidupannya dengan pemikiran yang ditawarkannya. Kedua, membahas kisah-kisah lain dalam al-Quran perspektif as-Sya’rawi, dengan menggali dari tafsir sya’rawi dan sumber lainnya. F. DAFTAR PUSTAKA Al-Qathhthan, M. bin K. 2000. Mabahits fii ulum al-Quran. Al-Zarqani, M. Abd al-H. Manahil al-Irfan. Amrullah, A. A. 1982. Tafsir al-Azhar. As-Sa’di, A. N. 1997. Al-Qowaid al-Hisan li-Tafsir al-Qur’an. As-Sya’rawi, M. M. Surah al-Kahfi. Asy-Sya’rowi, M. M. 1999. Tafsir Asy-Sya’rowi. Herry Muhammad. 2006. Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh Abad 20. Hosen, N. 2020. Tafsir Al-Qur’an di Medsos. Jazar, M. Y. 1409. Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn `Ashrihi. Mustaqim, A. 2011. Kisah Al-Qur’an Hakikat, Makna, dan Nilai pendidikannya. Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, XV. Naqrah, Sikulujiyah al-Qishshah fî al-Qur’ân. 299 Quthub, S. al-Tashwîr al-Fanni fî al-Qur‟ân Beirut Dâr al-Ma„ârif. Sa`îd Abû al-`Ainain. 1995. Al-Sya`râwi Anâ min Sulâlat Ahl al-Bait. Shihab, Q. 2013. Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran. Izzuthoriqul Haq Muhammad Labib SyauqiThis study aims to examine the methods, processes of interpretation tafsir, and religious discourses that develop on social media, as well as the implications and effectiveness of its interpretation for the readers. It is a case study of the Instagram account qur'anreview. Amid the trend of Qur’an interpretation on social media, this qur'anreview account has attracted the attention of netizens through its religious content presentation in the form of interpretation as its language style, diction, and nuances meet the millennial generation. Based on the hermeneutic, critical discourse analysis, and mass communication effect theoretical approach, the results of the study show that the religious content presented by the quranreview account focuses on the language approach presented in the form of thematic interpretation. The interpretation follows the opportunistic and omnivorous characteristics of the digital native. The interpretation model is quite effective and has implications for the cognitive, affective, and behavioral aspects of the readers. While the social space of its interpretation is based on the culture of social media and digital native, which leads to popular Islamic MustaqimQur’anic stories are among God’s methods to educate human being. They contain moral of stories which send messages to people without indoctrinating. Conversely, they provide some interesting and enjoyable teachings and values. The main objective of the narrative stories of the Qur’an is to give lesson to human beings, along with their two functions, abd al-Lâh servant of God who must serve the Lord and as khalîfah al-Lâh representative of the Lord. By using descriptive analytical method and thematic interpretation approach, the article describes various educational values in the stories of the Qur’an. From some samples of stories in the Qur’an, the writer concludes that there are many educational values in the stories of the Qur’an, namely tauhid the unity of God, intellectual, moral, sexual, spiritual and democracy Salah satu cara Tuhan dalam mendidik manusia adalah dengan metode kisah dalam al-Qur’an. Dengan metode itu, manusia dapat mengambil pesan moral di dalamnya, tanpa merasa diindoktrinasi. Bahkan pesan-pesan edukatif yang terkandung didalamnya akan lebih mudah dicerna dan menarik. Tujuan pokok penuturan kisah al-Qur’an adalah sebagai pelajaran buat manusia, terkait dengan dua fungsinya, yakni sebagai abd al-Lâh yang harus beribadah kepada Tuhan dan sebagai khalîfah al-Lâh wakil Tuhan yang harus memakmurkan bumi. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis dan pendekatan tafsir tematik, artikel ini menjelaskan tentang berbagai nilai pendidikan dalam kisah al-Qur’an. Dari beberapa sampel kisah dalam al-Qur’an penulis menyimpulkan bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan dalam kisah al-Qur’an yang meliputi nilai pendidikan tauhid, intelektual, moral, seksual, spiritual, dan juga fii ulum al-QuranM Al-QathhthanK BinAl-Qathhthan, M. bin K. 2000. Mabahits fii ulum al-H. Manahil al-IrfanM Al-ZarqaniAl-Zarqani, M. 'Abd al-H. Manahil al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn `AshrihiM Y JazarJazar, M. Y. 1409. Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn ` al-Qishshah fî al-Qur' NaqrahNaqrah, Sikulujiyah al-Qishshah fî al-Qur' ShihabShihab, Q. 2013. Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran.
AsySyekh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi lahir pada 16 April 1911 M di Desa Daqadus, Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Di usia yang masih dini, 11 tahun, ia sudah hafal al-Quran. Sejak kecil selalu dipanggil oleh kedua orangtuanya dengan panggilan "Syaikh al-Amin" (yang amanah).
This article tries to analyze the biography of Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, a mufassir, along with its work Tafsir asy-Sya 'rawi Khawatir asy-Sya'rawi haul al-Qur'an al-Karim. This article discusses the back ground of the emergence of this work, its sources, its method, its school fiqh and theology, its characteristics, its interpretation, and the experts' opinion about him. The method used in analyzing this article is a critical-analytical method by using a historical approach. Based on its sources, Tafsir asy-Sya'rawi is the blend between Tafsir bi al-Ma'tsur and Tafsir bi al- Ra'yi, but the later one is more dominant. Based on its method, asy-Sya'rawi joins tahlili and maudlui methods, but the later one is more dominant. Based on its interpretation characteristics, he uses both tarbawi education and hida'i guidance. Based on its school, he follows Syafi'i school in fiqh, and it is closed to Muktazilah School in theology. Based on its charactenstics, he has a specific characteristic that he proposes rational examples to support his interpretations. One of his interpretations is that he doesn't support mutasyabbihat and isra'iliyat interpretations, but he supports scientific interpretations tafsir 'ilmi. Moreover, according to some experts, he is a rational, moderate, and sufistic ulama. Key words Mutawalli asy-Sya'rawi, tafsir alQur'an, bi al-Ma'tsur and tafsir bi al-Ra'yi Salahsatu kitab Syekh Mutawalli Sya'rawy. Tentunya tidak sedikit yang sudah ditelaah sendiri oleh Syekh Sya'rawi atau wakilnya, tapi saya sendiri tak tahu banyak hal soal buku mana saja yang sudah ditelaah sehingga aman dikonsumsi dan sah penisbatannya pada beliau, kecuali Tafsir Sya'rawi yang dua puluh jilid itu sebab di cover depan NamaBuku : Suami Istri Berkarakter Surgawi Ukuran/Hal : 15 x 23 cm / 432 halaman. Berat: 900 gram. Penulis: Syaikh Muhammad Mutawalli Asy Sya'rawi Penerbit: Penerbit Pustaka Al Kautsar Harga : Rp 69.000 ,--> Rp 63.000 Anda Hemat: Rp 6.000,- Pesan via Whatsapp: 0857 2510 6570
Selamaitu pula Syaikh Sya'rawi selalu mencari tahu siapa gerangan guru yang selalu hadir dalam mimpinya. Hingga akhirnya misteri ini terpecahkan pada tahun tahun 1963 M. Saat itu Syaikh Mutawalli ditawari menjadi delegasi Al-Azhar untuk menghadiri perayaan kemerdekaan negara Aljazair, namun beliau menolak karena suatu hal.
SyaikhMuhammad Mutawalli Sya'rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa Arab pada tahun 1937, beliau tamat pada tahun 1941. Kemudian ia juga menamatkan pendidikan A'lamiyyah dan mendapatkan lisensi mengajar pada tahun 1943. Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di ma'had al-Azhar Thantha, ma'had Alexandria, ma'had Zaqaziq, kemudian EmpatAmalan Mendapatkan Ridho Allah swt Oleh: Syaikh Mutawalli Asy-Sya'rawi Pertama: Bila kamu melihat semut, maka jangan lah kamu membunuhnya. Carilah dengan itu ridha Allah, semoga Allah menga Nasehat Ulama. Apakah Allah Mencintaiku (Oleh: Syaikh Ali ath-Thanthawi) olehASY-SYA'RAWI, MUTAWALLI Terbitan: Departemen Luar Negeri, 2000 Available online: Get online. Favorit. Tersimpan di: Hikmah dibalik yang halal dan haram . oleh ASY-SYA'RAWI, Mutawalli Terbitan: Pustaka Mantiq, 1994 Available online: CAnVd4.
  • ie5828pt9t.pages.dev/190
  • ie5828pt9t.pages.dev/94
  • ie5828pt9t.pages.dev/799
  • ie5828pt9t.pages.dev/86
  • ie5828pt9t.pages.dev/433
  • ie5828pt9t.pages.dev/151
  • ie5828pt9t.pages.dev/795
  • ie5828pt9t.pages.dev/987
  • ie5828pt9t.pages.dev/120
  • ie5828pt9t.pages.dev/8
  • ie5828pt9t.pages.dev/6
  • ie5828pt9t.pages.dev/806
  • ie5828pt9t.pages.dev/507
  • ie5828pt9t.pages.dev/888
  • ie5828pt9t.pages.dev/517
  • syaikh mutawalli sya rawi